Sunday, May 27, 2012

#Day18 Tulisan Perempuan 1


I speak of a decipherable libidinal femininity which can be read in a writing produced by a male or a female.
 _Writing The Feminine, Helene Cixous_

Ada sebuah asumsi yang dari dulu atau mungkin mengakar sampai sekarang bahwa tulisan perempuan hanyalah tulisan-tulisan yang cengeng, tulisan ringan berisikan curahan hati, ataupun hanya sebuah tulisan mengenai pengalaman-pengalaman mereka sebagai seorang perempuan. Saya tidak menyalahkan asumsi tersebut. Katakanlah memang itu genre tulisan perempuan. Dari Mrs. Dallowaynya Woolf sampai Saman dan Larungnya Ayu Utami tulisan perempuan memang terbaca dan terpahami seperti itu. 

Namun, bagi saya apa yang terbaca dan terpahami itu adalah bentuk dari suara mereka, suara yang terdominasikan dalam dunia laki-laki. Kalau @nalynahalaw bisa berujar dalam blognya “bicaralah maka semua akan terbaca’ tapi tidak untuk seorang Mary Ann Evans. Dia harus mengubah namanya menjadi George Eliot agar suaranya dapat dia tuangkan dalam sebuah tulisan dan terbaca. Ataupun Bronte bersaudara yang harus diam-diam menulis diary di sebuah kamar rahasia.

Pemahaman yang berkembang di masyarakat memang tidak terlepas dari asumsi dan stigma yang terlanjur tercipta atau diciptakan. Susahnya Eliot atau Bronte untuk menulis terhalang oleh asumsi bahwa teks atau tulisan itu bersifat laki-laki. Sederhananya adalah bahwa teks itu sendiri memang diciptakan, dan penciptanya adalah laki-laki. 

Dulu, masyarakat mengenal teks itu dari ayat-ayat suci, dari wahyu yang diturunkan yang akhirnya menjadi sebuah kitab untuk dibaca dan dipahami. Teks-teks dalam kitab suci itu kemudian akhirnya direpresentasikan dari si penyampainya atau pemimpinnya. Dan penyampainya itu adalah laki-laki. Ada nabi Muhammad dalam ajaran Islam, Yesus dalam ajaran Katolik, Luther sebagai pencetus ajaran Protestant, dan Dalai Lama dalam Buddha.  (Tanpa ada maksud untuk mendeskreditkan agama) Itulah mengapa teks dapat digenderkan atau bersifat laki-laki.   


*Ada sambungannya
           

3 comments:

Hello I'm Na said...

Miss, itu emang kenapa si Bronte Brothers mesti nulis diem2 di kamarnya? Aku pikir awalnya karena mereka laki2, makanya malu nulis diary. Eh aku browsing, itu mereka perempuan #apasihgueh --'' iya gitu miss pertanyaan aku...

:D :D :D ada nama akuuuuuuuuuh :D akakakakak

Hello I'm Na said...

eh kok Bronte Brothers. Bronte Bersaudara maksudnyah

Unknown said...

Bronte sisters bukan brothers.

Hmmm, diem2 karena mereka nggak ikut MK Writing kaya kamu.

Hahaha....
Waktu itu nulis masih nggak boleh buat perempuan.