Lahir di sebuah negara
bernama Indonesia membuat saya memahami arti sebuah perbedaan, perbedaan yang
terkadang membuat saya cenderung menjadi apatis dan tidak peduli. Perbedaan
yang tertanam dalam nilai-nilai luhur Pancasila yang saya pelajari semenjak
kecil semakin membuat saya menjaga jarak dengan orang-orang yang berbeda dengan
saya. Dengan dasar menghindari permusuhan dan perselisihan ternyata membuat
perbedaan yang ada terlihat semakin jelas.
Hal ini mungkin
saja disebabkan oleh keberadaan atau tempat sekolah dan juga tempat tinggal
saya. Saya tinggal di Bekasi, lahir di Bekasi, dan besar di Bekasi. Bekasi yang
saya kenal adalah sebuah kota yang cukup luas dan memiliki akses ke kota-kota
besar di sekitarnya. Dengan banyaknya akses ini membuat Bekasi menjadi kota
yang memiliki banyak pendatang yang datang dari berbagai wilayah untuk mengadu
nasib bahkan berkeluarga dan menetap di Bekasi. Banyaknya pendatang yang
kemudian menetap di Bekasi menjadikan Bekasi sebagai salah satu kota yang
memiliki keberagaman agama, bahasa, dan budaya.
Keberagaman
tersebut pun terjadi di keluarga saya, saya terlahir dari ayah Jawa, yang besar
dan lahir di Jawa, dan ibu yang lahir dan besar di Bekasi. Lahir dari orang tua
yang berbeda latar belakang membuat saya seperti berada di kediantaraan.
Hal-hal yang saya alami ketika saya berada di kota kelahiran ayah saya berbeda
dengan hal-hal yang saya alami di kota kelahiran saya, Bekasi; dari bahasa,
makanan ataupun kebiasaan. Hal-hal ini lah yang membuat saya menyeleksi tentang
siapa saya atau lebih tepatnya identitas diri saya.
Sebuah identitas
terbentuk dari seleksi-seleksi yang merepresentasikan seseorang atau sebuah
kelompok. Dengan kata lain, identitas
dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau
sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya gen dan usia cenderung bersifat bawaan. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, politik,
dan profesi. Selain itu, sebuah identitas merupakan sebuah proses yang
tidak komplit dan cenderung berubah-rubah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Stuart
Hall; “Identity is not as transparent or
unproblematic as we think. Perhaps instead of thinking of identity as an
already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we
should think, instead, of identity as a ‘production’, which is never complete,
always in process, and always constitute within, not outside, representation.”
(222)
Apabila saya
merefleksikan diri saya dengan kutipan tersebut, maka saya dapat
merepresentasikan diri saya dengan hal-hal yang saya seleksi yang kemudian
akhirnya dapat membentuk sebuah identitas diri. Saya menyeleksi dari tempat
kelahiran saya, kota dimana saya dibesarkan, ataupun bahasa yang saya gunakan
sehari-hari. Maka dari itu saya dapat merepresentasikan atau terepresentasi
sebagai orang Bekasi karena saya lahir, besar, dan berbahasa seperti
orang-orang Bekasi karena sebuah identitas dapat berarti juga sebagai sebuah
posisi “From where does he/she speak?”
atau disebut juga sebagai “positions of
enunciation” Tambahan lagi, Hall juga berpendapat bahwa “…enunciation suggest is that, though, we
speak, so to say ’in our own name’, of ourselves and from our own experience,
nevertheless who speaks, and the subject who is spoken of, are never identical,
never exactly in the same place.”
Melalui posisi,
pengalaman dan juga tempat itu lah yang membentuk sebuah identitas atau bahkan
sebuah identitas budaya (cultural identity)
karena manusia ataupun penciptaan budaya tidak terlepas dari suatu wilayah, dan
suatu wilayah pun dapat merepresentasikan identitas atau pemaknaan diri
masing-masing. Lebih jelasnya mengenai cultural
identity, Hall berpendapat, “There
are at least two different ways of thinking about ‘cultural identity’. The
first position defines cultural identity in term of one, shared culture, a sort
of collective ‘one true self’’, hiding inside the many other, more superficial
or artificially imposed ‘self’, which people with a shared history and ancestry
hold in common.” (223) Berdasarkan kutipan ini, Cultural Identity didefinisikan sebagai satu kesamaan karena adanya
sejarah yang sama, bersifat kolektif dan superfisial.
Namun pendapat
diatas bertolakbelakang apabila saya refleksikan kembali ke kota kelahiran
saya, Bekasi. Seperti saya ungkapkan sebelumnya bahwa Bekasi adalah kota tempat
banyaknya akses ke kota-kota besar di sekitarnya (tapal batas) yang menyebabkan
Bekasi memiliki banyak pendatang – dengan berbagai bahasa dan budaya yang
dibawanya – dengan kesadaran umum bahwa Bekasi memiliki banyak pabrik. Melihat
dari letak wilayah dan juga adanya proses migrasi ini lah yang menimbulkan
keragaman budaya bahkan bahasa di Bekasi. Ada dua etnis, sepengamatan saya,
yang menonjol atau yang banyak mendiami Bekasi, suku Sunda dan suku
Melayu-Betawi. Selain itu, ada juga beberapa etnis lain seperti, Jawa, Batak,
Padang, Ambon, Cina, Arab. Etnis Cina dan Arab umumnya berada di area-area
aktif perdagangan. Banyaknya etnis di Bekasi ini menyebabkan identitas budaya
Bekasi terlihat bias. Selain itu, keragaman etnis-etnis ini juga membuat
pengalokasian tempat tinggal. Daerah kabupaten Bekasi sendiri dipenuhi dengan
suku-suku Jawa, dan Sunda begitu pun bahasa yang dimilikinya. Sedangkan bagian
utara Bekasi, lebih banyak mayoritas didiami oleh suku Betawi dan suku-suku
Ambon, Padang, dan Batak. Sedangkan bagian timur didiami oleh percampuran
Melayu-Betawi, Cina dan Arab. Keragaman ini pun menyebabkan pembiasan
simbol-simbol kota, seperti penurunan patung Tiga Mojang (representasi dari
Bekasi sebagai bagian dari provinsi Jawa Barat) di daerah Harapan Indah yang
disebabkan karena ketidakcocokan patung tersebut dengan kultur masyarakat
Bekasi yang notabene terpengaruh dari budaya-budaya Betawi. Ataupun,
pengrusakan patung Lele di perempatan Bulan-Bulan di Jalan Juanda yang dianggap
tidak mencerminkan nilai-nilai kebekasian. (sumber: BekasiTerkini.com)
Oleh karena itu,
Hall pun mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai cultural identity: “This second position recognizes that, as
well as the many point of similarity, there are also critical points of deep
and significant difference which constituted what we really are; or rather
since history has intervened – ‘what we have become’. We cannot speak for very
long, with any exactness, about ‘one experience, one identity’, without
acknowledging its other side” (225) Bahwa pada akhirnya, sekalipun
dihadapkan terdapat beberapa kesamaan, Bekasi itu sendiri menyimpan banyak perbedaan
identitas orang-orang yang tinggal didalamnya, ataupun budaya dan bahasa yang
digunakan. Dan perbedaan ini nantinya mungkin akan membentuk sebuah perwujudan
yang baru karena cultural identity,
dalam pemahamamnya yang kedua adalah “a
matter of ‘becoming as well as of
being’”.
Tetapi adanya
perbedaan ini menyebabkan kebutuhan yang dipaksakan akan adanya budaya lokal
dan diakui atau adanya budaya dan tradisi dominan. Maka dari itu Pemerintah
Daerah (Pemda) Bekasi meresmikan beberapa budaya kesenian lokal yang diakui
seperti calung, wayang kulit, wayang wong, tari topeng, dan gambang kromong
yang kesemuanya sebenarnya adalah budaya yang terasimilasi karena adanya proses
migrasi. Maka apabila dihubungkan dengan
pemahaman identitas budaya sebagai “ a matter
of becoming” mungkin saja pada nantinya Bekasi akan memiliki budaya lokal
yang baru.
No comments:
Post a Comment