Tuesday, October 23, 2012

Sebuah Renungan Siapa dan Dimana Saya

Lahir di sebuah negara bernama Indonesia membuat saya memahami arti sebuah perbedaan, perbedaan yang terkadang membuat saya cenderung menjadi apatis dan tidak peduli. Perbedaan yang tertanam dalam nilai-nilai luhur Pancasila yang saya pelajari semenjak kecil semakin membuat saya menjaga jarak dengan orang-orang yang berbeda dengan saya. Dengan dasar menghindari permusuhan dan perselisihan ternyata membuat perbedaan yang ada terlihat semakin jelas.
Hal ini mungkin saja disebabkan oleh keberadaan atau tempat sekolah dan juga tempat tinggal saya. Saya tinggal di Bekasi, lahir di Bekasi, dan besar di Bekasi. Bekasi yang saya kenal adalah sebuah kota yang cukup luas dan memiliki akses ke kota-kota besar di sekitarnya. Dengan banyaknya akses ini membuat Bekasi menjadi kota yang memiliki banyak pendatang yang datang dari berbagai wilayah untuk mengadu nasib bahkan berkeluarga dan menetap di Bekasi. Banyaknya pendatang yang kemudian menetap di Bekasi menjadikan Bekasi sebagai salah satu kota yang memiliki keberagaman agama, bahasa, dan budaya.
Keberagaman tersebut pun terjadi di keluarga saya, saya terlahir dari ayah Jawa, yang besar dan lahir di Jawa, dan ibu yang lahir dan besar di Bekasi. Lahir dari orang tua yang berbeda latar belakang membuat saya seperti berada di kediantaraan. Hal-hal yang saya alami ketika saya berada di kota kelahiran ayah saya berbeda dengan hal-hal yang saya alami di kota kelahiran saya, Bekasi; dari bahasa, makanan ataupun kebiasaan. Hal-hal ini lah yang membuat saya menyeleksi tentang siapa saya atau lebih tepatnya identitas diri saya.
Sebuah identitas terbentuk dari seleksi-seleksi yang merepresentasikan seseorang atau sebuah kelompok. Dengan kata lain, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya gen dan usia cenderung bersifat bawaan. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, politik, dan profesi. Selain itu, sebuah identitas merupakan sebuah proses yang tidak komplit dan cenderung berubah-rubah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Stuart Hall; “Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity as a ‘production’, which is never complete, always in process, and always constitute within, not outside, representation.” (222)
Apabila saya merefleksikan diri saya dengan kutipan tersebut, maka saya dapat merepresentasikan diri saya dengan hal-hal yang saya seleksi yang kemudian akhirnya dapat membentuk sebuah identitas diri. Saya menyeleksi dari tempat kelahiran saya, kota dimana saya dibesarkan, ataupun bahasa yang saya gunakan sehari-hari. Maka dari itu saya dapat merepresentasikan atau terepresentasi sebagai orang Bekasi karena saya lahir, besar, dan berbahasa seperti orang-orang Bekasi karena sebuah identitas dapat berarti juga sebagai sebuah posisi “From where does he/she speak?” atau disebut juga sebagai “positions of enunciation” Tambahan lagi, Hall juga berpendapat bahwa “…enunciation suggest is that, though, we speak, so to say ’in our own name’, of ourselves and from our own experience, nevertheless who speaks, and the subject who is spoken of, are never identical, never exactly in the same place.”
Melalui posisi, pengalaman dan juga tempat itu lah yang membentuk sebuah identitas atau bahkan sebuah identitas budaya (cultural identity) karena manusia ataupun penciptaan budaya tidak terlepas dari suatu wilayah, dan suatu wilayah pun dapat merepresentasikan identitas atau pemaknaan diri masing-masing. Lebih jelasnya mengenai cultural identity, Hall berpendapat, “There are at least two different ways of thinking about ‘cultural identity’. The first position defines cultural identity in term of one, shared culture, a sort of collective ‘one true self’’, hiding inside the many other, more superficial or artificially imposed ‘self’, which people with a shared history and ancestry hold in common.” (223) Berdasarkan kutipan ini, Cultural Identity didefinisikan sebagai satu kesamaan karena adanya sejarah yang sama, bersifat kolektif dan superfisial.  
Namun pendapat diatas bertolakbelakang apabila saya refleksikan kembali ke kota kelahiran saya, Bekasi. Seperti saya ungkapkan sebelumnya bahwa Bekasi adalah kota tempat banyaknya akses ke kota-kota besar di sekitarnya (tapal batas) yang menyebabkan Bekasi memiliki banyak pendatang – dengan berbagai bahasa dan budaya yang dibawanya – dengan kesadaran umum bahwa Bekasi memiliki banyak pabrik. Melihat dari letak wilayah dan juga adanya proses migrasi ini lah yang menimbulkan keragaman budaya bahkan bahasa di Bekasi. Ada dua etnis, sepengamatan saya, yang menonjol atau yang banyak mendiami Bekasi, suku Sunda dan suku Melayu-Betawi. Selain itu, ada juga beberapa etnis lain seperti, Jawa, Batak, Padang, Ambon, Cina, Arab. Etnis Cina dan Arab umumnya berada di area-area aktif perdagangan. Banyaknya etnis di Bekasi ini menyebabkan identitas budaya Bekasi terlihat bias. Selain itu, keragaman etnis-etnis ini juga membuat pengalokasian tempat tinggal. Daerah kabupaten Bekasi sendiri dipenuhi dengan suku-suku Jawa, dan Sunda begitu pun bahasa yang dimilikinya. Sedangkan bagian utara Bekasi, lebih banyak mayoritas didiami oleh suku Betawi dan suku-suku Ambon, Padang, dan Batak. Sedangkan bagian timur didiami oleh percampuran Melayu-Betawi, Cina dan Arab. Keragaman ini pun menyebabkan pembiasan simbol-simbol kota, seperti penurunan patung Tiga Mojang (representasi dari Bekasi sebagai bagian dari provinsi Jawa Barat) di daerah Harapan Indah yang disebabkan karena ketidakcocokan patung tersebut dengan kultur masyarakat Bekasi yang notabene terpengaruh dari budaya-budaya Betawi. Ataupun, pengrusakan patung Lele di perempatan Bulan-Bulan di Jalan Juanda yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai kebekasian. (sumber: BekasiTerkini.com)
Oleh karena itu, Hall pun mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai cultural identity: This second position recognizes that, as well as the many point of similarity, there are also critical points of deep and significant difference which constituted what we really are; or rather since history has intervened – ‘what we have become’. We cannot speak for very long, with any exactness, about ‘one experience, one identity’, without acknowledging its other side” (225) Bahwa pada akhirnya, sekalipun dihadapkan terdapat beberapa kesamaan, Bekasi itu sendiri menyimpan banyak perbedaan identitas orang-orang yang tinggal didalamnya, ataupun budaya dan bahasa yang digunakan. Dan perbedaan ini nantinya mungkin akan membentuk sebuah perwujudan yang baru karena cultural identity, dalam pemahamamnya yang kedua adalah “a matter ofbecoming as well as of being’”. 
Tetapi adanya perbedaan ini menyebabkan kebutuhan yang dipaksakan akan adanya budaya lokal dan diakui atau adanya budaya dan tradisi dominan. Maka dari itu Pemerintah Daerah (Pemda) Bekasi meresmikan beberapa budaya kesenian lokal yang diakui seperti calung, wayang kulit, wayang wong, tari topeng, dan gambang kromong yang kesemuanya sebenarnya adalah budaya yang terasimilasi karena adanya proses migrasi. Maka  apabila dihubungkan dengan pemahaman identitas budaya sebagai “ a matter of becoming” mungkin saja pada nantinya Bekasi akan memiliki budaya lokal yang baru. 

No comments: