Sunday, October 28, 2012

Representasi Kuasa Dalam Gardu, Sebuah Tinjauan Buku




a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed. Access is guaranteed to all citizens. A portion of the public sphere comes into being in every conversation in which private individuals assemble to form a public body.” 
_Public Sphere, Habermas_


Gardu atau bisa juga disebut posko atau poskamling biasanya dikenal sebagai tempat berkumpul masyarakat demi terjaganya keamanan dari keadaan bahaya di suatu kampung atau gerbang masuk perumahan. Namun, membaca Gardu karya Abidin Kusno tergambarkan hal lain tentang gardu itu sendiri. Gardu, hal kecil yang sering ditemukan dalam hidup keseharian bermasyarakat, menurut Abidin Kusno bukan hanya produk budaya tetapi gardu juga memainkan peran penting dalam masyarakat karena gardu menggambarkan tatanan ruang politik, memuat ingatan-ingatan masyarakat, dan menentukan identitas territorial (7). Melalui bukunya Abidin Kusno juga, saya melihat gardu seperti saksi sejarah masa lalu yang peran dan fungsinya masih dapat dirasakan hingga sekarang. 

Gardu, dalam pembahasan Abidin Kusno, sebagai ruang publik juga memainkan peran kuasa didalamnya karena sebuah ruang publik directly linked to the concrete existence of a ruler. (74) Penguasaan dalam ruang publik ada karena peranan public authority didalamnya yang terepresentasikan melalui simbol-simbol kuasa, seperti contoh photo-photo Soekarno dan Megawati yang dipajang dan dihias dalam posko PDI-P sebagai pencitraan terhadap kuasa yang dibangunnya, opsir-opsir militer ataupun Hansip yang bertugas dan menjaga pos (gardu) pada era Soeharto guna kelanggengan kekuasaan rezimnya, dan dalam masa kolonial Belanda, gardu digunakan sebagai pembatasan teritorial kuasa Belanda dengan pembentukan segregasi-segregasi antara pribumi dengan kelompok etnisitas pendatang yang terwakili oleh masing-masing ketua dan penjaganya, sedangkan dalam masa kolonial Jepang, gardu itu sendiri difungsikan sebagai sistem yang terpusat berdasarkan intervensi negara dengan cara menghapuskan pemisahan-pemisahan kelompok (warisan kolonial Belanda) yang dijembatani oleh lembaga Keibodan. Dua contoh terakhir menegaskan pula gardu sebagai batasan wilayah dan tatanan politik ruang. Dan kuasa-kuasa yang terepresentasikan tersebut pada dasarnya terhubung pada satu sumber yaitu, negara karena menurut Habermas “The representative public sphere yielded to that new sphere of public authoritywhich came into being with national and territorial states.” (75) Walaupun kuasa-kuasa tersebut tidak nampak atau tersamarkan dalam gardu itu sendiri, tetapi simbol-simbol dan struktur kuasa yang terepresentasikan dalam gardu terepresentasikan secara publik karena secara tidak langsung melalui simbol-simbol kuasa tersebut, The holder of the position represented it publicly; he showed himself, presented himself as the embodiment of an ever-present higher power. (74) Melihat struktur dan simbol-simbol kuasa tersebut, dalam hal ini, gardu menggambarkan, sedikit mengambil istilah Foucault, surveillance dan power.

Hal lain yang terbaca melalui Gardu adalah bahwa gardu bukan hanya merepresentasikan kuasa teritorial tetapi juga kuasa dalam perspektif gender, yang belum dibahas oleh Abidin Kusno. Gardu, sebagai ruang publik memisahkan dengan jelas ruang publik dan domestik bagi perempuan karena gardu serupanya adalah ruang yang hanya bisa diakses oleh laki-laki, bukan perempuan. Berdasarkan perspektif Abidin Kusno dalam Gardu, peran gardu dari masa ke masa sebagai ruang penjagaan keamanan, batasan wilayah, tatanan politik yang sekaligus merepresentasikan kuasa bukanlah suatu ruang partisipasi perempuan, walaupun Habermas sendiri mengemukakan bahwa ruang publik is guaranteed to all citizens. Menilik hal ini, secara tidak langsung menjelaskan bahwa menjaga keamanan atau berkumpul di gardu bukanlah aktifitas perempuan, menangani huru-hara dan pemberontakan juga bukan berada pada tangan perempuan karena ruang publik itu sendiri bagi perempuan, dengan mengutip pendapat Baker yang mengkritisi Habermas masih sebagai ideological fiction yang subjektifitasnya terletak pada male authority (Calhoun 199) Namun bagi Ryan dalam perspektif new feminism, ruang publik bagi perempuan itu sendiri terartikan melalui pengalaman-pengalaman pribadi atau ciri khas perempuan itu sendiri, disinilah terlihat perempuan sebagai secondary status (260). Dalam konteks gardu, perempuan akhirnya diposisikan memiliki peran lain, bukan sebagai penjaga keamanan pada malam hari, bisa saja sebagai penyedia makanan di dapur. Terbatasnya ruang publik bagi perempuan ini pada dasarnya dibentuk oleh kuasa itu sendiri, maka gardu dibawah rezim Soekarno, Soeharto, penjajahan Belanda ataupun Jepang terbatasi tidak untuk perempuan.

Gardu oleh Abidin Kusno seolah membongkar gardu sebagai benda mati yang kemudian diolah, dan ditelaah melalui ruang, waktu, dan pemaknaan-pemaknaannya. Yang dari setiap pemaknaan dan perannya memunculkan konstruksi identitas gardu itu sendiri, yang bukan satu tapi multi identitas. Gardu sebagai perwujudan tradisi Indonesia mengkonstruksi identitas gardu sebagai produk budaya, dan gardu bukan hanya terepresentasikan sebagai identitas kuasa teritorial tetapi juga kuasa dalam perspektif gender.    

No comments: