“a realm of our social
life in which something
approaching public opinion can be formed. Access is guaranteed to all citizens. A
portion of the public sphere comes into being in every conversation in which private
individuals assemble to form a public body.”
_Public Sphere, Habermas_
Gardu atau bisa juga disebut posko atau poskamling
biasanya dikenal sebagai tempat berkumpul masyarakat demi terjaganya keamanan
dari keadaan bahaya di suatu kampung atau gerbang masuk perumahan. Namun,
membaca Gardu karya Abidin Kusno tergambarkan hal lain tentang gardu itu
sendiri. Gardu, hal kecil yang sering ditemukan dalam hidup keseharian
bermasyarakat, menurut Abidin Kusno bukan hanya produk budaya tetapi gardu juga
memainkan peran penting dalam masyarakat karena gardu menggambarkan tatanan
ruang politik, memuat ingatan-ingatan masyarakat, dan menentukan identitas
territorial (7). Melalui bukunya Abidin Kusno juga, saya melihat gardu seperti
saksi sejarah masa lalu yang peran dan fungsinya masih dapat dirasakan hingga
sekarang.
Gardu,
dalam pembahasan Abidin Kusno, sebagai ruang publik juga memainkan peran kuasa didalamnya
karena sebuah ruang publik directly linked to the concrete
existence of a ruler. (74) Penguasaan dalam ruang publik ada karena peranan public authority didalamnya yang
terepresentasikan melalui simbol-simbol kuasa, seperti contoh photo-photo
Soekarno dan Megawati yang dipajang dan dihias dalam posko PDI-P sebagai
pencitraan terhadap kuasa yang dibangunnya, opsir-opsir militer ataupun Hansip
yang bertugas dan menjaga pos (gardu) pada era Soeharto guna kelanggengan
kekuasaan rezimnya, dan dalam masa kolonial Belanda, gardu digunakan sebagai
pembatasan teritorial kuasa Belanda dengan pembentukan segregasi-segregasi
antara pribumi dengan kelompok etnisitas pendatang yang terwakili oleh
masing-masing ketua dan penjaganya, sedangkan dalam masa kolonial Jepang, gardu
itu sendiri difungsikan sebagai sistem yang terpusat berdasarkan intervensi
negara dengan cara menghapuskan pemisahan-pemisahan kelompok (warisan kolonial
Belanda) yang dijembatani oleh lembaga Keibodan. Dua contoh terakhir menegaskan
pula gardu sebagai batasan wilayah dan tatanan politik ruang. Dan kuasa-kuasa
yang terepresentasikan tersebut pada dasarnya terhubung pada satu sumber yaitu,
negara karena menurut Habermas “The representative public sphere yielded to that new sphere of ‘public authority’ which came into being with national and territorial
states.”
(75) Walaupun kuasa-kuasa tersebut tidak nampak atau tersamarkan dalam gardu
itu sendiri, tetapi simbol-simbol dan struktur kuasa yang terepresentasikan
dalam gardu terepresentasikan secara publik karena secara tidak langsung
melalui simbol-simbol kuasa tersebut, “The holder of the position represented it publicly; he showed himself,
presented himself as the embodiment of an
ever-present ‘higher’ power.” (74)
Melihat struktur dan simbol-simbol kuasa tersebut, dalam hal ini, gardu
menggambarkan, sedikit mengambil istilah Foucault, surveillance dan power.
Hal
lain yang terbaca melalui Gardu adalah bahwa gardu bukan hanya
merepresentasikan kuasa teritorial tetapi juga kuasa dalam perspektif gender,
yang belum dibahas oleh Abidin Kusno. Gardu, sebagai ruang publik memisahkan
dengan jelas ruang publik dan domestik bagi perempuan karena gardu serupanya
adalah ruang yang hanya bisa diakses oleh laki-laki, bukan perempuan. Berdasarkan
perspektif Abidin Kusno dalam Gardu, peran gardu dari masa ke masa sebagai
ruang penjagaan keamanan, batasan wilayah, tatanan politik yang sekaligus
merepresentasikan kuasa bukanlah suatu ruang partisipasi perempuan, walaupun
Habermas sendiri mengemukakan bahwa ruang publik is guaranteed to all citizens. Menilik
hal ini, secara tidak langsung menjelaskan bahwa menjaga keamanan atau berkumpul
di gardu bukanlah aktifitas perempuan, menangani huru-hara dan pemberontakan
juga bukan berada pada tangan perempuan karena ruang publik itu sendiri bagi
perempuan, dengan mengutip pendapat Baker yang mengkritisi Habermas masih
sebagai ideological fiction yang
subjektifitasnya terletak pada male
authority (Calhoun 199) Namun bagi Ryan dalam perspektif new feminism, ruang publik bagi
perempuan itu sendiri terartikan melalui pengalaman-pengalaman pribadi atau
ciri khas perempuan itu sendiri, disinilah terlihat perempuan sebagai secondary status (260). Dalam konteks
gardu, perempuan akhirnya diposisikan memiliki peran lain, bukan sebagai
penjaga keamanan pada malam hari, bisa saja sebagai penyedia makanan di dapur. Terbatasnya
ruang publik bagi perempuan ini pada dasarnya dibentuk oleh kuasa itu sendiri,
maka gardu dibawah rezim Soekarno, Soeharto, penjajahan Belanda ataupun Jepang
terbatasi tidak untuk perempuan.
Gardu
oleh Abidin Kusno seolah membongkar gardu sebagai benda mati yang kemudian
diolah, dan ditelaah melalui ruang, waktu, dan pemaknaan-pemaknaannya. Yang
dari setiap pemaknaan dan perannya memunculkan konstruksi identitas gardu itu
sendiri, yang bukan satu tapi multi identitas. Gardu sebagai perwujudan tradisi
Indonesia mengkonstruksi identitas gardu sebagai produk budaya, dan gardu bukan
hanya terepresentasikan sebagai identitas kuasa teritorial tetapi juga kuasa dalam
perspektif gender.