Genap dua tahun sudah beliau pergi, namun
lantunan Al-Quran yang menyentil kesunyian subuh itu masih terngiang. Ajarannya
tentang Tajwid, Tauhid, Thoharoh, tentang imam Syafii hingga Hanafi dan Hambali
masih tetap ada. Masihku ingat suara panggilannya ketika subuh, hanya dengan
satu kali panggilan maka si pemalas itu sanggup untuk membuka mata dan rela
untuk menunggunya pulang dari masjid guna mempelajari ayat-ayat suci. Masih
teringat jelas dehamnya tanda dia tidak setuju. Dan hanya satu kali juga, maka
si bandel itu tidak berani untuk melakukan hal yang dilarang itu bahkan hanya
untuk menonton TV di jam 7 malam sekalipun. Aku pun masih mengingat ketegaannya
untuk membiarkan anak umur 10 tahun itu menangis memohon untuk tidur karena PR
sekolah yang sulit atau tidak mau dikerjakannya. Bahkan aku masih hapal selera
makanannya, tanpa penyedap rasa. Beliau adalah kakekku.
Beliau tak pernah marah karena setiap orang tidak ingin membuatnya marah. Terlalu menyakitkan bagi kami untuk mendengarkan kemarahannya. Ya, tak ada satupun diantara kami yang ingin membangunkan kemarahannya. Sikapnya seperti itu lah yang membuatku kadang menggambarkannya sebagai seorang tirani. Namun, sampai saat ini aku masih sangat mengerti bahwa sebenarnya itu adalah bentuk kasih sayangnya, kasih sayang yang masih kurasa dan sangat terasa ketika aku tinggal dengannya walau hanya satu tahun.
Ya, kakekku...
Seorang kakek yang memberikan kasih sayangnya lengkap kepada semua cucunya.
Tanpa ada yang dibedakan.
Kakekku....
Sosok tegar nan bersahaja, seorang pebisnis yang toleran, dan cukup demokrat.
No comments:
Post a Comment