"These men you see have one thing in common: damn, their lives are in the gutter! _anonymous_
Melihat
beberapa postingan teman-teman tentang idola dan arti seorang ‘idol’, membuat
saya ingin menuliskan beberapa pemikiran saya tentang idola itu sendiri.
Tenang, tulisan saya ini tidak akan membantah atau mematahkan pendapat-pendapat
teman-teman tentang idola-idola anda.
Mungkin, akan saya awali dengan orang-orang
yang saya idolakan. Tak saya pungkiri, saya juga memiliki beberapa orang yang
saya suka. Orang-orang disini taruhlah bisa berarti tokoh, selebriti, ataupun
pahlawan. Seperti @nalynahalaw yang mengidolakan David Daily, eh salah David
Archuleta maksudnya, ataupun @yyunika yang mengidolakan si berondong Devon Bostick saya pun mengidolakan beberapa selebriti cowok.
Sebut saja mereka 3 J; Juna, James, dan Joongie(Kim Hyun Joong). Alasan sederhananya
adalah karena mereka ganteng dan cool.
Jangan tanyakan mengapa saya suka laki-laki ganteng dan cool? Alasan sederhananya lagi adalah karena saya perempuan. Cuma,
saya hanya sebatas suka, suka sama ketampanan yang mereka miliki, suka karena
mereka tinggi, ideal, cool, putih, mungkin wangi, bahkan ada juga yang manis
(Joongie maksudnya). Ya, hanya suka sebatas itu, karena saya berpikir bukankah
memang harus seperti itu gambaran seorang selebriti cowok yang ideal? Tak cukup
hanya keahlian, mereka juga harus punya tampang.
Namanya juga masuk layar kaca
yang akan dilihat oleh jutaan mata, ya tampang itu memang mesti ada, sekalipun
dia cuma masak di TV. Ya, kaya Juna contohnya. Coba, sekarang ada berapa banyak
koki di TV yang tidak ganteng atau cantik? Hmm, mungkin hanya dua atau tiga.
Nah, itu cuma masak, apalagi bintang film seperti James Franco.
Ya, betapa
tampang sangat penting untuk sebuah dunia hiburan. Kalaupun ada obat yang bisa
membuat orang tidak pernah tua, mungkin para selebriti itu akan duluan
membelinya. Haha, itulah gambaran dunia hiburan kawan, yang menghibur memang,
namun melenakan. Kita bisa sangat terhibur, namun juga terlena, terlena oleh
keidealitasan yang mereka tawarkan.
Ideal dan
idol. Bukankah hampir mirip cara pengucapannya? Ideal dan idol ini sudah
menjadi padanan yang sulit dipisahkan. Idola itu memang seseorang yang ideal, setidaknya
ideal bagi yang mengidolakannya. Namun, pengidolaan seseorang terhadap idolanya
yang terkadang membuat saya berdecak kagum tapi heran. Tingkah laku atau
perbuatan seseorang yang mengidolakan idola terkadang membuat saya hampir gila
untuk memikirkannya (ya, walaupun sebenarnya tidak penting untuk dipikirkan
juga)
Tingkah
laku itu bisa berarti banyak hal seperti menghabiskan berjuta-juta untuk
menonton konsernya, atau membeli aksesoris, gambar ataupun mendownload
video-video sang idola tersebut, bahkan meniru gaya dari idola tersebut. Lebih ekstrem
lagi bisa sampai menato nama idola itu di salah satu anggota tubuhnya.Tingkah laku
tersebut menurut saya didasari akan satu hal, fanatisme. Fanatisme berlebihan terkadang dapat menciptakan sebuah fandom yang
berlebihan juga.
Fandom atau fan itu sendiri itulah yang akan mengekalkan atau melanggeng
sang idola itu sendiri. Saya melihatnya itu seperti gunung es (haha, lagi-lagi
gunung es!) ya, sederhananya adalah sang idola itu sendiri yang berada di
puncak gunung es itu, dan fan atau fandomnya berada di dasar paling bawah. Betapa fan itu sebenarnya tidak terlihat
kan? Fandom atau fan itu sendiri dapat melanggengkan bahkan menghancurkan
gunung es yang mereka bangun sendiri. Dengan kata lain, sang idola itu dapat
hancur oleh fandom atau fan mereka. Mungkin itu, saya sendiri masih bingung
untuk menjabarkan bagaiman idola dapat menciptakan fandom. Namun, fandom dapat
menciptakan idola.
Nah, hal-hal
itu lah yang akhirnya menciptakan image seorang idola. Seburuk apapun idola
tapi tetap saja harus terlihat baik dimata fan mereka. Maka diciptakanlah sebuah konsep. Konsep? Ya,
hidup seorang idola mungkin ironi bagi saya. Karakter, gaya, bahkan hidup
mereka itu sudah terkonsepkan, dan dikonsepkan (untuk menjadi ideal) oleh
sebuah tim manajemen yang harus mereka bayar setiap bulan dari setiap share
yang didapat setiap kali mereka perform. Namun,
bagi saya hidup yang sudah terkonsepkan malah terlihat fake.
Se-powerful apapun
seorang idola bagi saya mereka tetap saja powerless karena kehidupan mereka bahkan
detail yang paling kecil sekalipun itu dilihat, dipandang, dikontrol oleh
banyak orang. Makanya ada istilah public
figure. Ya, menjadi public dan juga massive, bagi fan mereka dan oleh fandom yang diciptakan karena
kekuatan dari being famous itu bukan
terletak di kekayaan tapi di fandom itu sendiri karena harta sang idola itu
sendiri ada di fan dan fandom mereka.
PS: Sifat fanatis atau mengidolakan seseorang itu memang bukan sesuatu yang salah, tidak salah sama sekali malah karena bagi saya rasa itu relatif. Selama masih menjadi manfaat dan bersifat motivatif.
PS: Sifat fanatis atau mengidolakan seseorang itu memang bukan sesuatu yang salah, tidak salah sama sekali malah karena bagi saya rasa itu relatif. Selama masih menjadi manfaat dan bersifat motivatif.
*fandom --> simplenya, fan with suffix dom. (Kalau @__uki bertanya apa itu fandom)
2 comments:
Tuh kan, mention aku terus.. :O
Itu kan salah satu bentuk bully-an aku ke kamu.
Kok gak nyadar seh??? Hadooooooooch....
Post a Comment