Pengalaman
demokrasi di Indonesia telah menunjukkan bahwa media, mengutip istilah Merlyna Lim, seperti “pedang bermata dua”[1].
Satu sisi media dapat menjadi sebagai tiang pengukuh stabilitas negara, namun
pada satu sisi, media dapat menghancurkan dan merubah tatanan politik dalam
sebuah negara. Hal ini dapat dibuktikan di banyak kasus pemerintahan yang
tumbang akibat gerakan yang dipionirkan dalam sebuah media. Seperti kasus
turunnya Husni Mubarok yang disebabkan oleh gerakan dua hari di Tahrir Square
yang pergerakannya digawangi dalam sebuah media sosial bernama Facebook.
Ataupun pergerakan revolusi melalui Twitter di Iran pada tahun 2009 yang
memprotes terpilihnya kembali Ahmadinejad sebagai presiden. Dalam hal ini,
media dapat terlihat sebagai public sphere dimana teraksesnya partisipasi publik dan terciptanya dimensi ruang
sipil yang demokratis dalam dunia virtual. Namun, peran media tidak hanya cukup
sampai disitu. Media sosial juga mampu menyuarakan kepentingan-kepentingan
setiap individu dibelakangnya yang individu tersebut mampu menjadi pionir
ataupun penggalang suara demi kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini terlihat
dari kasus koin Prita ataupun berkembangnya situs anti-Amerika dan situs Laskar
Jihad Online (LJO) setelah adanya kejadian 9/11 yang dalam situsnya terjaring
informasi yang mendiskreditkan pihak agama lain. Melihat hal tersebut, peran
media tidak hanya sesederhana sebagai sumber informasi saja, media dapat
diasumsikan sebagai institusi yang didalamnya terdapat agen-agen politik karena
tidak dapat dipungkiri walaupun media merupakan institusi yang dilatarbelakangi
oleh berbagai kepentingan, keberadaan jurnalis dapat mengukuhkan peran media
sebagai aktor politik. Selain itu, media juga dapat berperan sebagai pendorong
proses demokratisasi dan oposisi. Salah satu bentuk berfungsinya media sosial dalam praktek demokratisasi adalah penggulingan Soeharto pada tahun 1998.
*Lebih jelasnya tentang demokrasi dan media sosial Orde Baru, tunggu postingan saya selanjutnya.
[1] A double-edged sword, diambil
dari artikel Merlyna Lim,
Sumber: Lim, Merlyna (2002), “Cyber
civic-space in Indonesia: From panopticon to pandemonium?” IDPR, 24 (4), pp.
383-400
No comments:
Post a Comment