Wednesday, March 26, 2014

Media Sosial dan Demokrasi di Indonesia Part I



Pengalaman demokrasi di Indonesia telah menunjukkan bahwa media, mengutip istilah Merlyna Lim, seperti “pedang bermata dua”[1]. Satu sisi media dapat menjadi sebagai tiang pengukuh stabilitas negara, namun pada satu sisi, media dapat menghancurkan dan merubah tatanan politik dalam sebuah negara. Hal ini dapat dibuktikan di banyak kasus pemerintahan yang tumbang akibat gerakan yang dipionirkan dalam sebuah media. Seperti kasus turunnya Husni Mubarok yang disebabkan oleh gerakan dua hari di Tahrir Square yang pergerakannya digawangi dalam sebuah media sosial bernama Facebook. Ataupun pergerakan revolusi melalui Twitter di Iran pada tahun 2009 yang memprotes terpilihnya kembali Ahmadinejad sebagai presiden. Dalam hal ini, media dapat terlihat sebagai public sphere dimana teraksesnya partisipasi publik dan terciptanya dimensi ruang sipil yang demokratis dalam dunia virtual. Namun, peran media tidak hanya cukup sampai disitu. Media sosial juga mampu menyuarakan kepentingan-kepentingan setiap individu dibelakangnya yang individu tersebut mampu menjadi pionir ataupun penggalang suara demi kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini terlihat dari kasus koin Prita ataupun berkembangnya situs anti-Amerika dan situs Laskar Jihad Online (LJO) setelah adanya kejadian 9/11 yang dalam situsnya terjaring informasi yang mendiskreditkan pihak agama lain. Melihat hal tersebut, peran media tidak hanya sesederhana sebagai sumber informasi saja, media dapat diasumsikan sebagai institusi yang didalamnya terdapat agen-agen politik karena tidak dapat dipungkiri walaupun media merupakan institusi yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, keberadaan jurnalis dapat mengukuhkan peran media sebagai aktor politik. Selain itu, media juga dapat berperan sebagai pendorong proses demokratisasi dan oposisi. Salah satu bentuk berfungsinya media sosial dalam praktek demokratisasi adalah penggulingan Soeharto pada tahun 1998. 


*Lebih jelasnya tentang demokrasi dan media sosial Orde Baru, tunggu postingan saya selanjutnya.


[1] A double-edged sword, diambil dari artikel Merlyna Lim,
Sumber: Lim, Merlyna (2002), “Cyber civic-space in Indonesia: From panopticon to pandemonium?” IDPR, 24 (4), pp. 383-400

No comments: