Seorang
teman saya – seorang laki-laki yang selalu bicara seenaknya, bergaya apa
adanya, dan bertindak semaunya – pernah berpendapat kalau “menulis itu
menyakitkan”, dan dalam hati sebenarnya saya mengiyakan pendapat tersebut. Bagi
teman saya itu, menulis merupakan hal yang rumit, bahkan untuk sebuah artikel
ringan. Namun, ada juga teman saya yang lain, perempuan pendiam yang berkata,
dan bertindak seperlunya, berpendapat kalau “menulis itu adalah obat”, dan saya
pun tidak masalah dengan pendapat tersebut. Baginya, mungkin segala sakit dan
derita dapat dia sembuhkan dengan menulis. Seperti bertolak belakang bukan?
Namun, dua
pendapat itu malah meyakinkan saya kalau menulis berhubungan dekat dengan jiwa
dan kejiwaan seseorang. Kalau, Freud pernah berkata bahwa manusia itu seperti
gunung es dimana semua desire mereka
terhempaskan dalam sampai membuat gunung besar yang berada dibawah permukaan
air, mungkin ini berhubungan dengan teman saya yang menganggap kalau tulisan
itu adalah sebuah obat. Baginya, tulisan dia merupakan hempasan dari desire yang tertahan itu. Baginya,
tulisan dia adalah gunung besar itu yang ia simpan dalam. Baginya, menulis
merupakan sebuah pelarian dimana dia bisa berkata apapun, menjadi siapapun yang
dia mau, dan bertindak sesuka hati. Hmm, pantas hobi teman saya itu menulis diary karena dalam diarynya lah dia bisa menemukan pemenuhan lain dan merasa lengkap. Kebiasaannya
menulis diary malah menjadi keuntungan
untuknya karena menulis mempermudahkan dirinya untuk terus berkarya dalam dunia
fiksi. Sampai akhirnya, salah satu karyanya dapat diterbitkan. Hal ini serupa
dengan teman saya yang lain yang juga hobi menulis. Dalam tulisan
fiksi-fiksinya, saya bisa mendapatkan seseorang yang lain disana, seseorang
yang bahkan bukan dirinya. Ya, selama saya tidak salah mengenal dirinya. Atau
sebenarnya itu adalah dirinya? Dirinya yang terhempas jauh dan dalam. Inilah
alasan mengapa saya menganggap bahwa tulisan bisa menjadi alter ego.
2 comments:
For me too, Writing is a cure for a curse mind :)
Gue setuju banget sama Freud dalam hal ini, permukaan gunung es memang tak sebesar yg tersembunyi di bawah permukaannya lol.
Eh ini belum beres kan ya tulisannya :D
Belum ke intinya, menurut gue.
Post a Comment