Berkaca dari seorang teman yang sedang bimbang
dengan ajakan kekasihnya untuk menikah menggerakkan jari-jari manis saya menari
diatas tuts keyboard laptop saya yang baru aja selesai diperbaiki ini.
Sebenarnya bukan hanya satu teman saja, namun beberapa teman pun pernah
bercerita kepada saya mengenai kebimbangan dia sebelum mengatakan ‘iya’
terhadap lamaran kekasihnya. Saya sendiri masih bertanya-tanya kenapa banyak
teman mencurahkan hatinya mengenai kisah cintanya kepada perempuan yang sama
sekali buta, bahkan tidak punya banyak pengalaman tentang cinta ataupun
mencintai ini. Apalagi ini masalah PERNIKAHAN! Saya sendiri masih mencari
berbagai alasan untuk saya menikah, ya, selain alasan karena umur dan pandangan
masyarakat. Tapi, yang dapat saya pahami adalah bahwa kebimbangan teman-teman
saya merupakan kebimbangan yang cukup mendasar dan begitu perempuan. Pertama,
karena mereka perempuan dan saya perempuan. Walaupun klise, tapi menurut saya
hanya teman perempuan lah yang dapat memahami teman perempuan lainnya. Kedua,
saya selalu merasa mungkin saya nanti pun akan seperti itu berada dalam berjuta
pertanyaan dan kediantaraan siap dengan tidak siap. Taruhlah, karena saya
sekarang berada dalam “zona aman” saya, maka saya belum merasakan beribu sesak
sampai tidak tahu harus tersenyum, tertawa, atau menangis. Bukankah begitu
rasanya dilamar? Ah, biarkan itu saya alami nanti ya. HAHA.
Okay, kembali mengenai kebimbangan teman-teman saya; kebimbangan yang pada umumnya dirasakan oleh semua perempuan ketika mereka mau menikah. Biasanya, mereka akan bertanya hal-hal seperti ini: “What if it doesn’t work out? What if I’m unhappy? What if he makes a bad decision? Is he the right person? Am I an option? Does he really love me?” Wow! Banyak sekali ya pertanyaan yang mereka ajukan. Beruntungnya, mereka punya teman sesabar saya. Pertanyaan-pertanyaan itu menurut saya timbul dari keraguan dan ketakutan mereka untuk menjalani sebuah hal yang menurut saya masih sangat absurd itu, pernikahan. Kalau saja saat ini adalah jaman waktu nenek saya masih muda jelas keadaannya akan sangat berbeda. Saya tidak perlu repot-repot meredam ketakutan, kebimbangan, dan keraguan mereka. Bagaimana tidak? Perempuan jaman sekarang sudah lebih dewasa memaknai arti sebuah pernikahan. Dengan banyaknya fenomena KDRT dan kawin-cerai yang kemudian berakhir menjadi ibu tunggal membuat mereka berpikir ulang untuk beranjak dan masuk kedalam lembaga itu.
Namun, dari sekian banyak pertanyaan dan keraguan mereka, saya hanya bertanya dengan satu pertanyaan; “ Elo cinta nggak sama dia?” Dan ketika semua teman saya menjawab iya, maka saya akan dengan bijaknya berkata, “ Hapus semua pertanyaan itu!” Karena, kalau cinta sudah dilontarkan dan dirasakan bersama, apakah masih ada tempat untuk sebuah keraguan? Sekalipun saya adalah korban dari kemodernitasan, tapi saya tetap seseorang yang berpikiran konservatif dalam masalah cinta dan perasaan. Bagi saya, laki-laki ketika dia sudah memutuskan dengan siapa dia akan menjalani hidupnya nanti maka dia sudah memberikan seluruh hidup dan cintanya. Percayalah, kalau dia adalah laki-laki yang akan menepati janjinya yang dia ucapkan diatas kitab suci, ataupun di altar gereja. Buka kembali buku-buku diary yang dulu mengukirkan kisah cinta itu, susuri lagi jalan-jalan yang dulu pernah dilalui bersama, dan kenang setiap detail kebodohan-kebodohan dia ketika mulai menyatakan suka, meminta maaf, ataupun kekonyolan-kekonyolan dan kegombalan-kegombalan dia. Oh! Ternyata masih ada rindu di hati. Tersenyumlah, karena cinta itu masih ada.
Lalu, mengapa saya terlihat tidak ‘witty’ seperti biasanya? Kawan, terlalu rumit untuk menyandingkan cinta dengan teori-teori yang sudah saya baca. Terlalu merepotkan untuk menjabarkan cinta dengan pikiran rumit saya, because love is simply to feel not to think.
Lots of love
Mels
1 comment:
I'm with you miss :)
Post a Comment