Menjadikan
seseorang sebagai idola bukanlah hal baru yang datang saat ini. Masih ingat
dalam ingatan, ketika saya melihat poster-poster Rolling Stone, banyaknya
majalah Hai, ataupun kaset-kaset lagu barat yang saat itu masih belum bisa saya
pahami dalam kamar kakak sepupu saya, hal ini juga terjadi ketika saya remaja
dengan bermunculannya bintang seperti Agnes Monica, Britney Spears, Sum41,
Blink184 ataupun bintang-bintang Jepang dan Korea saat ini. Bermunculannya para
bintang ini jelasnya didasari oleh fan-base
yang dibentuk oleh penggemarnya masing-masing. Semakin banyaknya fan semakin memperkuat fandom itu sendiri yang bagi saya
seperti bentukan gunung es yang fan
dan fandom-nya itu sendiri berada di
dasarnya. Datangnya sangat cepat dan tak terelakkan, namun runtuhnya pun dengan
sangat mudah dan cepat.
Kehadiran
para penggemar ini memunculkan bentuk-bentuk pemujaan atau
pengidolaan-pengidolaan yang diikuti oleh peniruan-peniruan gaya bicara, potongan
rambut ataupun berpakaian. Kalau diperhatikan, kebanyakan dari
penggemar-penggemar ini adalah para remaja putri. Usia remaja yang merupakan
usia adaptif memungkinkan para remaja putri ini melihat kemudian beradaptasi
terhadap apa yang mereka lihat dan kemudian menirunya. Cara peniruan ini
beraneka ragam bentuknya. Ada yang terlihat dari peniruan gaya berpakaiaan
seperti bintang-bintang yang mereka lihat, atau bahkan gaya bicara. Dan hal-hal
seperti ini dapat dilihat pada masa berkembangnya bintang-bintang yang berasal
dari Korea saat ini.
Masuknya
industri hiburan asing seperti dari Korea baik perkembangan boy/girl bandnya
ataupun dramanya jelas bukan hal yang baru, karena sebelumnya sudah didahului
oleh bintang-bintang yang berasal dari Mandarin seperti F4 yang terkenal dengan
drama Meteor Gardennya ataupun banyaknya drama-drama dari Jepang, mulai dari
Oshin hingga Tokyo Love Story. Maraknya hiburan Korea ini bukan hanya dapat
diakses oleh para remaja saja, tetapi juga para ibu-ibu rumah tangga. Tontonan
drama-drama Korea bukan hanya dapat dinikmati dari DVD seharga delapan ribuan
per keping tetapi sudah masuk dalam ranah domestik perempuan melalui televisi. Ketampanan
dan kecantikan para anggota boy/girl band yang menari sambil menyanyi ataupun
sebaliknya tidak hanya bisa dinikmati dalam konser berharga jutaan rupiah saja
tetapi juga sudah dengan mudah dinikmati dalam program-program musik televisi
yang menayangkan video-video klip boy/girl band tersebut. Dan ini yang menurut
saya agak aneh, program televisi yang mengusung tema musik-musik Indonesia
terpaksa disisipkan oleh satu atau dua video klip dari boy/girl band Korea.
Kesukaan
perempuan terhadap tokoh-tokoh idola ini merupakan hal yang bagi saya menarik
untuk dibahas. Melihat fenomena seperti diatas tadi menimbulkan satu pertanyaan
dalam diri saya, mengapa penggemar para artis-artis Korea ini lebih banyak
berasal dari kalangan perempuan? Mencoba menjawab hal ini, saya teringat teori mirroring Lacan. Ketidakkomplitan
kastrasi perempuan menyebabkan perempuan mencari pemenuhan- pemenuhan lain.
Hadirnya idola ini, yang saya asumsikan termasuk dalam konsep ‘ideal-I’
merupakan sebagai salah satu bentuk terhadap pemenuhan-pemenuhan tersebut. Maka
dari hal tersebut, muncullah pengidolaan-pengidolaan yang kemudian menyebabkan
adanya peniruan-peniruan gaya idola tersebut, atau disebut juga dengan istilah mimicry. Oleh karena itu, pengidolaan
terhadap idola tersebut dapat menjadi sebuah escapism. Pelarian diri ini apabila dihubungkan dengan budaya
menonton drama-drama Korea yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga jelas dapat
menjadi sebuah pelarian dari rutinitas domestik atau bahkan permasalahan rumah
tangga mereka.
Selain
itu, pengidolaan terhadap bintang-bintang Korea di kalangan perempuan juga
mengubah konsep keidealan atau ketampanan seorang laki-laki. Hal ini membuat
saya tersadar bahwa tampan dan cantik itu hanya semata sebuah konstruksi sosial
saja yang terkonstruksi dari sosok-sosok ideal yang dihadirkan oleh media.
Apabila saya bertanya pada ibu saya, mungkin laki-laki tampan menurut dia
bukanlah seperti Lee Min Ho (bintang Korea saat ini) karena jelas ibu saya
mungkin lebih memilih Barry Prima ataupun George Rudi. Ketampanan Pierce
Brosnan, ataupun keperkasaannya Barry Prima dapat dengan mudah tergantikan oleh
sosok-sosok manis dan oriental seperti
Lee Min Ho yang dianggap ideal oleh remaja saat ini. Hal ini menegaskan bahwa
gambaran laki-laki ideal itu tidak akan selalu sama, atau ‘charming prince’ yang terbentuk dalam fantasi perempuan akan selalu
berubah tergantung pada apa yang mengkonstruksinya, bisa saja media. Dalam hal
ini, budaya menonton drama ataupun boy/girl band Korea di kalangan perempuan
bukan hanya menciptakan kesenangan yang lain tetapi juga sosok ideal yang lain.
Lalu,
pengidolaan-pengidolaan ini bukan saja dapat menciptakan peniruan-peniruan
seorang penggemar terhadap seorang idola tetapi juga menimbulkan pembelajran
atau bahkan percampuran budaya dan bahasa populer. Selain perubahan fashion
dalam berpakaiaan dan gaya rambut, perubahan bahasa pun dapat terlihat. Saat
ini, penggunaan bahasa ‘Saranghaeo’ bisa
lebih populer dibandingkan ‘I love you’.
Menjamurnya rumah makan Korea di Indonesia, dan juga konsumsi mie ramen dan
Kimchi bisa melebihi ketenaran konsumsi mie Aceh dan Jawa. Hal ini disebabkan
karena budaya menonton itu sendiri bisa menjadi sebuah pembelajaran terhadap
budaya asing, dalam hal ini Korea. Mungkin saja, para remaja saat ini lebih
mengenal budaya-budaya Korea yang mereka tonton daripada budaya Indonesia
sendiri. Terlebih lagi, apabila hal ini menjadi konsumsi perempuan setiap hari,
maka hal ini bisa menyebabkan meleburnya atau bahkan hilangnya budaya Indonesia
ke generasi selanjutnya, dengan pertimbangan perempuan sebagai ibu yang
mengajarkan budaya itu sendiri kepada anak-anaknya kelak.