Naomi Wolf dalam
bukunya yang berjudul, The Beauty Myth
menjelaskan mengenai konsep cantik dan ideal di kalangan perempuan dalam konteks
dunia modern saat ini. Konsep cantik dan ideal, menurut penjelasan Wolf,
merupakan sebuah standar yang diakui oleh masyarakat. Hal ini, seolah ada
standar yang dipaksakan agar para perempuan mendapatkan status diakui secara
sosial. Standar cantik disini digambarkan bahwa perempuan harus tinggi,
langsing, berkulit putih dan tanpa noda atau perempuan yang sudah mencapai
suatu kesempurnaan. Konsep cantik ini pula termediasikan dalam sebuah layar TV
ataupun teks-teks lainnya seperti majalah ataupun fiksi. Namun, hal ini seperti
menjelaskan bahwa perempuan melihat keidealan diri mereka sebagai seorang
perempuan dalam sebuah layar atau teks. Tetapi bagaimana dengan penggambaran
laki-laki dalam sebuah layar? Inilah perbedaan yang Wolf gambarkan, bahwa
laki-laki bisa saja ditampilkan dalam sebuah majalah fashion pria, namun mereka
tidak dilihat sebagai ‘role model’.
Sedangkan perempuan apabila ditampilkan dalam sebuah layar ataupun majalah,
maka tergambar sebuah pola yang menjelaskan bahwa mereka (perempuan) dilihat
oleh laki-laki, dan para perempuan tersebut pun melihat perempuan tersebut
sebagai ‘role model’. Pola ini sama
juga menegaskan bahwa perempuan memang untuk dilihat, sebagai model atau boneka
peraga, dan seolah-olah mereka (perempuan) menerima hal tersebut tanpa negosiasi
yang akhirnya menjadi mitos yang disebarkan dan diterima kebenarannya. Hal ini,
seperti yang dijelaskan Wolf, berhubungan dengan identitas perempuan. Oleh
karena itu, Wolf pun menjabarkan bagaimana perempuan dilihat dan
direpresentasikan dalam teks-teks fiksi yang dibahasnya dalam sebuah istilah ‘Heroines’.
Heroines
Wolf menjabarkan
bahwa sebenarnya konsep ideal dan cantik tersebut bukan karena lemahnya identitas
perempuan, hanya saja image ideal
bagi perempuan merupakan hal yang penting
yang akhirnya menjadi sebuah obsesi dan seolah perempuan dimaksudkan
seperti itu. Yang menurut saya, inilah sebuah stereotip penggambaran perempuan
dalam konteks dunia modern. Bahwa stereotip tentang perempuan harus ideal dan
cantik sudah mengakar dari dahulu. Sebagaimana dijelaskan oleh Wolf perempuan
harus cantik itu berada dalam persepsi budaya laki-laki. Hal ini bisa saja
dikatakan bahwa budaya begitu laki-laki atau berada dalam dominasi laki-laki.
Istilah ‘heroines’ itu sendiri bisa berarti pemeran utama perempuan, yang
adalah lawan dari ‘hero’ dalam teks-teks fiksi ataupun drama layar kaca.
Penggambaran
perempuan cantik dan ideal sudah tergambar berabad-abad yang lalu dalam
teks-teks fiksi sejak abad 14. Stereotip perempuan dalam fiksi ataupun layar
kaca digambarkan hanya pada dua penggambaran, cantik tapi tidak pintar atau
pintar namun tidak cantik. yang keduanya menjadi sebuah perlawanan linear seperti Helena dan Hermia dalam Midsummer Night’s Dream ataupun Glinda
dan the Wicked Witch of the West dalam Oz. Maka, dalam hal ini, dominasi budaya
laki-laki seolah mengimajinasikan perempuan dalam sebuah perlombaan atau
perlawanan diantara kedua hal tersebut, dimana akan ada satu pemenang dan satu
yang kalah dalam sebuah mitos kecantikan.
Namun, mitos
tersebut dibalikkan dalam novel-novel yang ditulis oleh perempuan yang lebih
menekankan pada kecantikan yang lebih bermakna; dimana pertentangan antara
cantik yang bernilai dengan cantik yang tidak bernilai. Maka, heroine dalam fiksi-fiksi perempuan
terlihat cantik, elegan, dan pintar yang tetap saja berada dalam penggambaran
dominasi hero dalam novel tersebut,
yang adalah laki-laki. Kemudian, dimaknai oleh Wolf bahwa fiksi-fiksi perempuan
berakhir pada kekalahan pemeran pendukung perempuan karena tidak lebih cantik
dari pada pemeran utama. Sedangkan dalam cerita anak-anak atau dongeng, mitos
cantik itu sendiri mengajarkan kepada anak-anak sebagai suatu nilai kebenaran
atau moral bahwa sebuah cerita itu akan terjadi hanya pada perempuan cantik
tanpa mempertimbangkan bagaimana karakter perempuan tersebut; menarik atau tidak,
dan tidak ada cerita untuk perempuan yang tidak cantik. Selain itu, Wolf juga
menjelaskan penggambaran perempuan dan mitos cantik dalam majalah perempuan.
Majalah
Perempuan
Mitos cantik
yang digambarkan dalam majalah-majalah perempuan dewasa ataupun remaja lebih
menekankan pada evolusi mitos itu sendiri. Evolusi disini dapat diartikan
sebagai perluasan makna mitos cantik itu sendiri yang kemudian bisa berwujud
sebagai bentuk kritik ataupun dinamisasi akan makna mitos cantik itu sendiri.
Oleh karena itu, banyak kritik yang bermunculan terhadap topik-topik atau
hal-hal sepele yang dibahas dalam majalah perempuan. Para pembacanya pun berada
dalam posisi ambivalen. Hal ini dikarenakan perkembangan majalah-majalah
perempuan berbarengan dengan kemajuan perempuan itu sendiri seperti dalam
bidang pendidikan pada tahun 1860-70an dimana emansipasi perempuan sudah muncul.
Perkembangan majalah perempuan itu sendiri ditandai dengan
penggambaran-penggambaran perempuan cantik dalam produksi majalah yang semakin
disempurnakan, seperti munculnya The
Queen, dan Harper’s Bazaar , dan
sirkulasi English Women’s Domestic magazine yang mencapai ribuan kopi.
Meningkatnya kebutuhan akan majalah ini, dalam penjelasan Wolf, yang dalam
skala dan modal yang besar dan mayoritas pembelinya adalah para perempuan kelas
menengah dan kelas pekerja membuktikan kuatnya peran majalah perempuan dalam
pembentukan image perempuan dan mitos
cantik itu sendiri.
Perkembangan
majalah perempuan bukan saja hanya membahas mengenai evolusi mitos cantik itu
sendiri, tetapi juga berhubungan luas dengan perkembangan fashion dan kosmetik
yang dikonsumsi, transformasi budaya perempuan seperti kebiasaan berbelanja,
perubahan pola pikir; domestik ke ruang kerja, atau ibu rumah tangga ke
perempuan pekerja, adanya women’s bonding,
pergerakan perempuan, hingga perempuan dalam pornografi. Hal ini, menurut Wolf
didasari karena majalah itu sendiri adalah suatu komoditas yang menjual produk
melalui adanya iklan dalam majalah tersebut sehingga sesuatu yang sepele dalam
majalah tersebut menjadi suatu bagian penting yang diterima oleh para perempuan
dengan kesadaran. Keberadaan iklan tersebut, sekalipun mejadi perdebatan dalam
level editorial, namun tetap dipertahankan karena iklan tersebut adalah cara
dimana perempuan tertarik untuk membeli majalah tersebut. Hal ini menegaskan
pula bahwa dalam majalah bukan hanya memunculkan adanya transfer informasi,
produk, dan budaya tetapi juga sebuah sirkulasi modal.
Perkembangan
majalah pertama memperlihatkan adanya perubahan status perempuan; yang pada
awalnya status perempuan hanya berada pada ranah domestik saja. Namun dengan
masuknya majalah kedalam ranah domestic menjadikan perempuan berkembang menjadi
sepadan dan dipertimbangkan dalam kesadaran sosial. Hal ini dibuktikan dengan
partisipasi mereka dalam perang dunia pertama yang kemudian mempelopori adanya
perempuan pekerja. Dengan adanya perempuan pekerja, jelas sirkulasi komoditas
majalah pun akan bergerak dimana mereka membutuhkan produk-produk kosmetik dan
fashion yang akan digunakan dalam dunia kerja. Namun, hal ini menegaskan bahwa
perempuan diberi kesempatan untuk bertanggung jawab dengan keuangan,
berpartisipasi dalam ruang publik, sekalipun tetap berada dalam peran mengurusi
anak-anak mereka.
Lalu, ketika
perekonomian dunia barat mengalami krisis, dan dibawah payung birokrasi
dominasi laki-laki, mobilisasi perempuan pun terhentikan dan harus kembali
dalam peran istri dan ibu saja. Tetapi, sirkulasi majalah tidak terhenti begitu
saja. Maka, sekitar tahun 1950an, majalah tradisional yang lebih mengusung
tema-tema mengenai cara menjadi menjadi ibu, dan istri yang baik pun terbentuk,
dan iklan yang diusung dalam majalah tersebut pun menjual produk-produk rumah
tangga, ataupun produk kecantikan yang pastinya diperuntukkan untuk dibeli oleh
perempuan. Definisi mengenai perempuan ‘sempurna’ pun berubah sesuai dengan
keadaan politik, sosial, dan ekonomi yang berkembang, bahwa perempuan sempurna
itu terlihat dari apa yang dimiliki di rumahnya. Namun, buku Feminine Mystique Friedan mengubah pola
pikir perempuan karena Friedan dalam bab Sexual
Sell menjelaskan identitas para ibu rumah tangga Amerika pada saat itu
tergantikan dan termanipulasikan oleh uang.
Dengan pemikiran
Friedan dan terbentuknya kembali pergerakan perempuan dan ideologi baru,
perkembangan majalah perempuan pun berubah, lebih mengusung tema feminitas.
Mitos cantik pun mengikuti revolusi perempuan pada saat itu. Perempuan tidak
banyak mengkonsumsi fashion yang ada di pasaran, hal ini juga yang menyebabkan
industri majalah pada saat itu merosot tajam. Dan dari hal tersebut
perkembangan fashion pun berubah, dimana perempuan terlihat lebih bebas dalam
mengekspresikan tubuhnya. Isu tentang tubuh dan bentuk tubuh perempuan pun
mulai dipermasalahkan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pembaca
artikel-artikel atau buku tentang cara diet. Dan ketika terbentuknya hak-hak
perempuan pada tahun 1848 memprovokasi perubahan dalam editorial majalah, dan
mitos cantik pun berubah menjadi lebih menakutkan. Berbeda lagi, dengan era
paska pergerakan perempuan, mitos perempuan cantik lebih berfokus pada
kebebasan seksualitas, dan erotisme namun, menurut Wolf masih dengan pola bahwa
cantik dapat diperoleh dengan uang seperti diet, perawatan kulit, bahkan
operasi plastik.
Perkembangan
majalah perempuan dan mitos cantik yang
selalu berkembang menegaskan keterhubungan antara materi yang diproduksi
kemudian dikonsumsi, diterima dan dipercaya. Perempuan mempercayai apa yang
majalah tulis dan gambarkan yang kemudian dijadikan cermin oleh mereka tidak
terlepas dari bagaimana dominasi budaya laki-laki menggambarkan tentang
perempuan itu sendiri. Dan hal ini bisa menjadi salah satu sebab munculnya
penggambaran-penggambaran perempuan dalam majalah berkonten pornografi yang
juga dipengaruhi dengan perubahan mitos cantik yang semakin ekstrem. Dengan
berkembangnya majalah-majalah dewasa seperti Playboy atau Penthouse memunculkan
mitos cantik yang lain yang lebih menampilkan sisi keliaran seorang perempuan
namun dipandang sebagai suatu bentuk kekerasan atau eksploitasi terhadap
perempuan itu sendiri, sehingga memunculkan adanya sensor.
Censhorship
Bagian-bagian
yang disensor dalam media yang menggambarkan perempuan ternyata tidak terlihat
dalam hal-hal yang berkonten pornografi, karena sensor itu sendiri berlaku
tergantung konteks sosial dan politik yang berkembang, maka sensor disini dapat
berarti kebijakan pemerintah yang diikuti oleh editor dalam media yang
menayangkan dengan bijak pula. Hal ini seperti menegaskan bahwa konsumen
perempuan semakin cerdas dan selektif yang dibuktikan dengan pendapat Gloria
Steinem bahwa menyertakan perempuan dalam iklan otomotif yang pada dasarnya
tidak berhubungan dengan perempuan lebih mudah dibuat daripada memuat iklan sampo
tanpa menyertakan cara penggunaan sampo itu sendiri, ataupun seperti iklan
makanan tanpa resep pembuatannya.
Sensor yang
selanjutnya terlihat dalam seleksi pemilihan model dalam iklan produk
kecantikan. Dalam iklan produk kecantikan, modelnya dibatasi pada usia dan
iklan produk diet jelas harus dibuktika dengan perempuan yang bertubuh ramping.
Hal ini seolah menegaskan bahwa mitos cantik yang masih sama dan lama yaitu
menolak adanya penuaan dan gemuk, maka tidak ada penggambaran perempuan tua dan
gemuk dalam media. Apabila dibandingkan kedua sensor tersebut, ada cara sensor
yang berbeda. Sensor yang pertama memberikan hak dan suara perempuan dalam penyeleksian
suatu produk, namun sensor kedua mengesankan pilihan yang lebih sempit dan
tertutup. Maka dari itu semua, sensor itu sendiri selain digerakkan karena
adanya sutu kepentingan dan kebijakan pemerintah, didasari pula oleh keinginan
ideal konsumen.
Kesimpulan
dan Komentar
Setelah
membaca bab Culture dalam buku The Beauty Myth, selain intonasi
penjelasan yang terkesan ‘galak’ dan propokatif, saya melihat adanya konsep
ideal perempuan dan mitos cantik itu sendiri bukan hanya telah terbentuk dari
fiksi-fiksi perempuan tetapi juga mengesankan ada usaha untuk mempertahankan
hal tersebut. Dengan kata lain, mitos cantik di kalangan perempuan akan tetap
sama sekalipun telah melalui beberapa dekade sejarah dan berbeda media. Hal
tersebut, saya asumsikan sebagai stereotip yang berkembang di masyarakat, dan
media berperan sebagai alat untuk melanggengkan stereotip-stereotip tersebut.
Penggambaran-penggambaran perempuan yang teregulasikan melalui media, kemudian
menjadi produk yang dikonsumsi bukan saja memunculkan stereotip yang mengakar
tetapi juga representasi dan identitas perempuan itu sendiri dalam dominasi
budaya lelaki. Apabila saya melihat hal tersebut dalam perspektif feminisme,
maka dapat diasumsikan bahwa media itu sendiri pun bersifat laki-laki. Namun,
mitos cantik itu sendiri, sesuai dengan buku ini, secara tidak langsung juga
turut dilanggengkan oleh perempuan, karena hal tersebut diinginkan oleh
perempuan. Dalam pergerakan sirkulasi budaya, saya melihat bahwa mitos cantik
itu direpresentasikan melalui sebuah produk untuk perempuan, lalu dikonsumsi
oleh perempuan sendiri yang dalam peregulasiannya mengikuti keinginan dan
kebutuhan perempuan.
Referensi:
Wolf, Naomi. (2002). The Beauty Myth, How Images of
Beauty Are Used Against Women. New
York: Harper's Collin. 58-85.